Advertisement

Fwd: Konsep Berpikir Menurut Imam al-Ghazali


Konsep Berpikir Menurut Imam al-Ghazali

Imam al-ghazali mendefinisikan berpikir (al-fikr) sebagai “menghadirkan dua pengetahuan dalam hati untuk menghasilkan dari keduanya pengetahuan ketiga”.[1] Pengertian ini menjadi jelas jika kata tafakkur dibandingkan dengan apa yang oleh al-Gazhali disebut dengan tadzakkur. Tadzakkur adalah jika (seseorang) hanya berhenti pada batas-batas dua pengetahuan saja, tanpa melampauinya menjadi pengetahuan baru. Siapa saja yang tidak mencari “pengetahuan ketiga maka ia tidak dapat disebut sebagai “orang yang sedang berpikir”. Hal ini karena setiap orang yang mengingat kembali itu berpikir (tadzakkur). Adapun manfaat mengingat kembali (tadzakkur) adalah mengulang-ulang pengetahuan dalam hati agar pengetahuan itu menancap dan tidak lepas dari hati. manfaat berpikir adalah memperbanyak pengetahuan dan menarik pengetahuan yang belum diperoleh.” Al-ghazali menggambarkan berpikir sebagai “penyulut cahaya pengetahuan”. Ia juga menyatakan bahwa cahaya pengetahuan yang muncul dari pikiran dapat mengubah hati sebagai hati memiliki kecenderungan pada sesuatu yang sebelumnya tidak diminati.[2] Selain itu, anggota tubuh bangkit untuk bekerja sesuai dengan tuntutan situasi hati. demikianlah pikiran melewati lima tingkatan : 1) mengingat, yaitu menghadirkan dua pengetahuan dalam hati, 2) berpikir, yaitu mencari pengetahuan yang dituju dari dua pengetahuan tersebut, 3) diperolehnya pengetahuan tersebut dan tersinarinya hati oleh pengetahuan tadi, 4) perubahan kondisi hati, dan terakhir, 5) kesiapan anggota tubuh untuk mengabdi pada hati sesuati dengan kondisi yang baru dialami oleh hati.[3]

Al-ghazali menetapkan alur pikiran, dalam arti wilayah dan masalah-masalah pikiran. Ia mengatakan bahwa alur pikiran terbatas hanya pada “hubungan antara hamba dengan tuhannya. Seluruh pikiran hamba adakalanya berkaitan dengan hamba beserta sifat-sifat dan kondisi-kondisinya, ada kalanya berkaitan dengan yang disembah dengan segala sifat dan perbuatannya. Yang terkait dengan manusia adakalanya berupa penalaran terhadap sesuatu yang disenangi Allah, atau terhadap sesuatu yang tidak disukai. “di luar kedua bagian ini tidak ada perlunya untuk dipikirkan”. Yang terkait dengan allah adakalanya berupa penalaran terhadap substansi, sifat-sifat, dan juga nama-nama_Nya yang indah”, atau terhadap perbuatan-perbuatan, kerajaanm dan kebesarannya, seluruh yang ada di langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya.[4] Berpikir untuk hal terakhir yang berkaitan dengan allah hanya akan menghasilkan pengetahuan “yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang diketahui oleh keseluruhan ulama dan wali”.[5] Apa yang mereka ketahui “sangat sedikit kalau dibandingkan dengan yang diketahui oleh para nabi”. Apa yang diketahui oleh para nabi sangat sedikit apabila dibandingkan dengan yang dikethaui oleh nabi Muhammad SAW. Apa yang diketahui oleh seluruh nabi sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang diketahui oleh para malaikat utama, seperti israfil, jibril dan yang lainnya. kemudian, seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh para malaikat, jin dan manusia, tidak tepat jika dikatakan sebagai ilmu apabila dibandingkan dengan pengetahuan Allah. Semua itu lebih dekat kalau disebut dengan keheranan, kebingungan, dan ketidakmampuan.[6]

Menurut al-Ghazali definisi ilmu sebagai “mengetahui sesuatu berdasarkan hakikatnya”. Mengenai ilmu, al-Ghazali mengatakan ahwa ilmu merupakan “salah satu sifat Allah”. Atas dasar ini, ia menegaskan bahwa “ilmu pada dasarnya tidak jelek, namun ia bisa menjadi jelek karena manusia”. Ini berarti bahwa ilmu memiliki batasan-batqasan yang harus dipegangi, tidak boleh dilampaui.

Dalam hal ini al-ghazali menjelaskan batasan-batasan tersebut dengan menyebutkan sebab-sebab yang menjadi ilmu menjadi jelek. Ia mengembalikan hal itu pada tiga hal : 1) jika membahayakan pemiliknya atau orang lain, 2) jika membahayakan pemiliknya pada umunya, atau 3) jika mendalami ilmu yang tidak berguna sebagai ilmu bagi pemiliknya, “seperti mempelajari ilmu-ilmu yang pelik sebelum mengetahui dasar-dasarnya, mempelajari yang samar-samar sebelum mengetahui yang jelas, dan seperti mengkaji rahasia-rahasia ketuhanan”, yang hanya diketahui caranya oleh para nabi dan wali. Oleh karena itu, masalah-masalah ini harus dijauhkan dari kebanyakan orang yang mengembalikan mereka pada apa yang dinyatakan olehsyara”. Untuk memperkuat pendapatnya, al-ghazali memberikan bukti riwayat dari nabi Muhammad saw, bahwa beliau pernah melewati seorang lelaki, sementara banyak orang yang mengitarinya. Beliau bertanya : apa ini? Mereka menjawab: dia orang yang pandai. Beliau bertanya : atas dasar apa? Mereka menjawab puisi dan nasab-nasab bangsa arab. Beliau berkata : “pengetahuan yang tidak berguna, tidak mengetahui pun juga tidak membahayakan”. Dengan demikian, ilmu sebagaimana disebutkan hadits adalah “ayat yang muhkamat, atau tradisi (sunnah) yang jelas, atau kewajiban yang adil”. Semua ilmu selain ilmu tersebut termasuk kebodohan.[7]

(Dikutip dari  : Adonis, sejarah- pemikiran arab-islam, Jogjakarta : LKIS, 2009, p.23-26)


Posting Komentar

0 Komentar

SITUS JUAL BELI DAN INFO PELUANG USAHA